Pages

Ketika Cita-Cita Bocah Pesisir Terhempas Ombak

CAHAYA mega senja menembus kolong langit hingga menyentuh garis cakwarala. Semburat warna jingga kemerahan mulai memencar di hamparan langit luas. Saat menengok ke dasar laut, beragam jenis ikan bermain dibalik karang. Ya, selalu ada kepuasan tersendiri saat perahu bersandar di dermaga dan menginjakkan kaki ke kawasan pesisir.
Namun bersamaan dengan itu, potret buramnya kemiskinan juga terlihat jelas di sana. Gubuk-gubuk reot sepanjang bibir pantai, perkampungan kumuh, semuanya bisa dilihat secara kasatmata. Pendidikan di daerah pesisir selalu menjadi barang yang mewah. Tidak semuanya bisa merasakan asyiknya duduk di bangku SMP, dan tidak semuanya bisa merasakan serunya masa putih abu-abu, apalagi yang melanglang ke perguruan tinggi. Alasannya satu, kepungan ekonomi. Yang jadi pertanyaan, sekejam inikah yang namanya ‘ekonomi’ sampai melenyapkan mimpi-mimpi anak pesisir?

Sebagai anak pesisir, sudah menjadi hal yang wajar ketika imajinasi mereka mengantarkan pada cita-cita ingin menjadi penyelam, atlet renang, bahkan seorang menteri kelautan. Seakan-akan menjadi hal yang tidak mungkin diraih dan menjadi bahan tawaan, mimpi-mimpi yang mereka bangun terpaksa harus dibuang ke tengah laut bersama dengan jala yang ditebar.
Ironisnya, yang mematikan mimpi bocah-bocah pesisir tidak lain adalah seseorang yang ingin mereka banggakan kelak, orang tua. Doktrin ‘untuk apa sekolah tinggi-tinggi jika pada akhirnya menjadi nelayan’ disuntikkan dalam pikiran mereka agar tersadar dari imajinasinya. Padahal, diantara semangat mereka mengenyam pendidikan, terselip keinginan untuk merubah kehidupan mereka agar tidak berakhir sama dengan orang tua mereka. Setidaknya, bisa membahagiakan orang tua dengan prestasi dan kesuksesan yang hendak digapai, menjadi ujung dari cita-cita mereka. Kata Bung Karno, seribu orang tua hanya dapat bermimpi, tetapi satu orang pemuda bisa mengubah dunia. Jika kondisinya seperti itu, kelak bocah-bocah itu akan mengubah dunia ini seperti apa?
Dan semakin tenggelam harapan mereka, saat mendekati sebuah rak yang dipadati dengan buku-buku tebal bantuan dari pemerintah. Buku kimia, metode penelitian, dan jejeran buku yang bahasanya cukup sulit dimengerti terdampar di sana. Katanya buku adalah jendela dunia. Bagaimana rombongan anak kecil yang tadinya semangat membaca ingin melihat ‘dunia’, kalau yang mereka buka berisi metodologi penelitian. Bagaimana bisa meningkatkan minat baca warga pesisir, jika yang diberikan buku-buku yang tidak punya daya tarik sama sekali?
Bantuan itu seolah-olah hanya bentuk formalitas kepedulian pemerintah terhadap rakyat pinggiran, agar tercatat dalam laporan pertanggungjawaban. Entah berguna atau tidak, yang penting bantuan pernah tersalurkan untuk masyarakat pinggiran.
Jika buku-buku seperti itu yang disajikan, siapa yang mau membaca? Bukan merendahkan kemampuan mereka, tapi setidaknya melihat secara realita saja. Buku seperti itu juga hanya dibuka kalangan mahasiswa yang terdesak skripsi.
Apa iya, para petani rumput laut di kawasan pesisir memerlukan metode pendekatan kualitatif dan kuantitatif saat mengangkut hasil panen rumput lautnya? Apa para nelayan harus menghubungkan hipotesis antara variable x dan y saat menebar jala mereka?
Potret buramnya kawasan pesisir bakal stagnan, jika orang tua dan pemerintah tidak memberikan ruang untuk mereka, lebih tepatnya mendesak mereka untuk menjadi seseorang yang berpendidikan. Mereka memang anak pesisir, tapi mengapa cita-cita mendapatkan pendidikan yang laik malah dikubur pasir. Mereka memang anak pinggiran, tapi mengapa mimpi-mimpi mereka menjadi sasaran tujuan pendidikan dan ingin mengubah nasib malah dipinggirkan. Bukankah bocah pesisir dan anak pinggiran juga generasi penerus bangsa?
Catatan ini sekadar coretan dari seorang jurnalis, yang hanya bisa berceloteh dengan menulis. Sekadar coretan dari seorang jurnalis, mencoba untuk kritis mengintip potret pendidikian yang kian miris. Selamat Hari Pendidikan Nasional. Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani.

1 komentar:

Blog27999 said...

Did you know there is a 12 word phrase you can say to your man... that will trigger deep emotions of love and impulsive attractiveness for you buried inside his chest?

Because deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, cherish and look after you with all his heart...

12 Words That Trigger A Man's Desire Impulse

This impulse is so hardwired into a man's genetics that it will make him work better than ever before to love and admire you.

As a matter of fact, triggering this dominant impulse is so binding to getting the best possible relationship with your man that the moment you send your man one of these "Secret Signals"...

...You will instantly find him open his mind and heart for you in such a way he haven't expressed before and he will perceive you as the one and only woman in the universe who has ever truly attracted him.

Post a Comment

 
Copyright (c) 2010 Gubuk Chapunk. Design by WPThemes Expert
Themes By Buy My Themes And Cheap Conveyancing.